ATAMBUA, BELUNEWS.COM – Suhu politik di Atambua panas. Aksi gabungan Cipayung dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (STISIP) Fajar Timur Atambua turun ke jalan pada Senin, 1/09/ 2025.
Aksi ini merupakan respons keras terhadap serangkaian kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat nasional yang diukur secara konvensional dan menyakiti hati nurani rakyat, sekaligus menjadi bagian dari gelombang protes nasional yang tak surut.
Aksi yang dimulai sejak pagi sekitar pukul 11:00 tersebut mengambil rute strategi di tiga titik vital, dimulai dari markas Satuan Brimob Polda NTT Batalyon A Pelopor, bergerak menuju Markas Polres Belu, dan mencapai puncaknya di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Belu.
Dengan pengawalan ketat oleh aparat gabungan TNI dan Polri, aksi massa menyampaikan delapan tuntutan krusial yang mencakup isu nasional hingga isu lokal yang mendesak.
Namun, eskalasi ketegangan tidak terjadi di jalanan, melainkan di dalam ruang dialog di gedung DPRD. Suasana yang semula bertujuan untuk menjembatani aspirasi berubah menjadi ajang adu argumen yang tajam ketika salah seorang anggota dewan menegur massa aksi untuk “menjaga lisan” dalam menyampaikan pendapat.
Teguran tersebut sontak menyulut emosi dan memicu reaksi keras dari para demonstran. Salah satu respon paling menohok datang dari Carlos, seorang aktivis yang turut hadir dalam dialog tersebut.
Dengan suara yang lantang dan tanpa keraguan, Carlos melontarkan sebuah analogi yang menusuk, menyalahkan esensi dan fungsi wakil rakyat yang menurutnya telah melenceng jauh dari amanat konstitusi.
